April note
Kedua mataku masih terbuka lebar jam satu lebih tiga puluh
menit. Bukan karena terlalu banyak Kafeina melainkan terlalu banyak Endorfin
yang terpompa di tubuh. Jangan menebak aku sedang memikirkanmu. Karena bukan
kamu satu-satunya yang menetap di kepalaku malam ini. Aku sengaja datang untuk
menempel beberapa lembar herbarium di kamar. Sejauh ini telah kukumpulkan
berbagai spesies tumbuhan Spora, Pakis, ranting pohon juga bunga-bunga yang
langsung dipetik dari kebun. Mungkin kau penasaran hobi dari planet mana yang
telah kuadopsi ini. Atau engkau mungkin kau tak ingin tahu. Atau juga kau ingin
bergabung bersamaku menghias dinding sembari berkisah tentang absurditas yang
telah kita alami selama dua tahun tak bertemu.
Tidak. Tunggu dulu. Aku sudah lama menetap di kota ini.
Pergi ke kota yang jauh dari alam dan hutan. Kamu salah satu yang membuatku
selalu ingin cepat pulang tanpa mengharapkan pertemuan. Dan aku selalu pulang
tiap akhir pekan. Aku ingin memberitahumu jika aku salah satu orang yang
mengharapkan kepulanganmu selain keluargamu, ibu dan ayahmu, atau kakak dan
adikmu. Aku tak menjadi bagian dari mereka. Dan kuakui aku hanya salah satu
makhluk kecil yang singgah di planet bernama Bumi ini. Jadi presensiku tak
perlu dihiraukan. Tetaplah engkau tenang. Tak akan ada aku yang mengganggumu
disana.
Bunga-bungaku sengaja kugantung di kamar agar kering. Aku
tahu kau jatuh cinta pada bunga yang diletakkan di etalase toko bunga. Benar
bukan. Namun aku lebih suka bunga yang kutanam sendiri tanpa perlu membeli.
Tidak ada yang istimewa, hanya saja dengan itu aku mampu menghargai hadirnya
bunga-bunga di taman setelah menanti lima bulan. Jadi, jika mereka telah resmi
kupetik tak akan terbuang sia-sia. Mereka akan tetap ada sebagai bunga kering
yang menggantung bersama keeping-keping harapan. Dan bungaku, yang senantiasa
menggantung di jendela. Mereka adalah kisahku, mereka adalah harapanku yang
tetap ada meski kenyataan membungkamnya.
Herbariumku akan memenuhi dinding setelah ini. Tak ada lagi
ruang untuk foto-fotomu atau bangau kertasmu. Semua telah kusimpan dalam lemari
agar aku tak mengingatmu lagi. Tapi jika aku boleh jujur. Telah kusediakan
ruang untukmu di hatiku. Tak ada pintu. Dan tak ada untukmu jalan untuk pergi
atau keluar. Namun ruang itu masih kosong, masih menantimu hadir.
Aku selalu berasumsi. Andai saja kita adalah dua manusia
yang ditakdirkan bersama. Pasti kitalah pemenang dari segala kompetisi yang
mengikut-sertakan kreativitas. Tanganku dan tanganmu memang tak pernah
bersentuhan. Namun kuyakini bakatmu dan bakatku adalah simbiosis mutualis. Jika
kita bersama, aku percaya rumah kitalah yang luar biasa dari sekian banyak
rumah-rumah di ranah ini. Rumah kita akan jadi sarang imaji yang melahirkan
karya-karya manis. Juga tempelan herbarium di dinding, bunga-bunga yang mekar
di taman. Dan Kaktus yang manis di rak buku. Kita akan melahirkan cerita-cerita
yang indah jika bersama.
Sudah, aku cukup mengerti. Aku memang suka menyia-nyiakan
tiap menitku untuk memikirkan impian gila. Kamu selalu disana dan kita adalah
dua hal yang tak bisa bersama. Jadi impianku tak perlu digubris. Biarkan mereka
ada sebagai pelengkap ceritaku saja. Dan herbariumku kini, biarlah tetap di
dinding sebagai tanda. Bahwa aku pernah bermimpi bersamamu. Memiliki rumah bersamamu
meski itu tak akan pernah.
Komentar
Posting Komentar