Tere Liye "Sepotong Hati Yang Baru"
Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha
memutus suasana canggung lima menit
terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”
Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.
“Apa kau baik-baik saja,” Alysa balik bertanya pelan.
Aku tertawa getir. Menggeleng.
Diam sejenak.
Diam sejenak.
Sungguh hatiku tidak baik-baik saja.
Bulan purnama menggantung di angkasa. Senyap? Sebenarnya
tidak juga. Suara debur ombak menghantam
cadas di bawah sana terdengar berirama. Tetapi pembicaraan ini membuat sepi
banyak hal. Hatiku. Mungkin juga hati Alysa. Rumah makan yang terletak persis di jurang pantai eksotis ini tidak
ramai. Hanya terlihat satu dua pengunjung, membawa keluarga mereka makan malam. Bukan
musim liburan, jadi sepi. Kami duduk berhadapan di meja paling pinggir. Menyimak
selimut gelap lautan di kejauhan.
“Maafkan aku.” Alysa menggigit bibir. Tertunduk lagi.
Aku menatap wajahnya lamat-lamat.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu.
Tertinggal jauh di belakang.”
Aku menelan ludah. Berusaha menjawab bijak—aku tahu itu
bohong, pura-pura bijaksana.
Hening lagi sejenak.
”Sungguh maafkan aku,” Alysa menyeka sudut-sudut matanya,
”Aku tidak pernah tahu akan seperti ini jadinya.
Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun
seharusnya kau tahu, sehari setelah kau
memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar, tetapi percuma. Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat
itu mungkin benar, ada seseorang dalam
hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Alysa, kau pergi. Dan kau bahkan membawa lebih dari
separuh hatiku.”
Ombak menghantam cadas semakin kencang. Bulan purnama di atas sana membuat lautan malam ini pasang. Lautan yang kosong sepanjang mata memandang, menyisakan kerlip kapal nelayan atau entahlah di kejauahan. Jemari Alysa terlihat sedikit gemetar memainkan sendok-garpu.
“Kau tahu, aku melalui minggu-minggu menyedihkan itu. Dan yang lebih membuat semuanya terasa menyedihkan, aku tidak pernah mengerti mengapa kau pergi.
Sesungguhnya aku tidak pernah yakin atas segalanya, aku
tidak pernah baik-baik saja.
Enam bulan berlalu, hanya berkutat mengenangmu. Mendendang
lagu-lagu patah-hati, membaca buku-buku
patah-hati. Hidupku jalan di tempat.”
“Maafkan aku.” Suara Alysa bahkan kalah dengan desau angin, matanya mulai basah menahan tangis.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku mendongak keluar,
menatap purnama. Berusaha mengusir rasa
sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi. Kemudian
kembali menatap wajah Alysa, tersenyum, “Kau tahu, di tengah semua kesedihan
itu, setidaknya saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan
hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak,
tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar
baru.”
Hening lagi sejenak.
Alysa mengangkat kepalanya, bertanya ragu-ragu, cemas,
“Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku?
Setahun silam. Di tempat yang sama.
Bedanya tidak ada kesedihan di sana. Aku mengeluarkan kotak
cincin batu bulan itu.
“Aku tahu ini bukan permata.” Tersenyum, “Hanya cincin
sederhana, berhiaskan batu bulan, simbol tanggal kelahiranmu. Apakah kau suka?”
Alysa mengangguk-angguk. Tersenyum amat lebarnya.
Menjulurkan tangannya. Dia mencoba memasangkan cincin tersebut. Sumringah
menatap wajahku,
“Itu akan menjadi cincin pernikahan kita.”
Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku lupa kalau selama
sebulan terakhir merencanakan banyak hal. Menyiapkan prolog dan kalimat pembuka
yang indah. Malam itu, menatap wajahnya, kalimat itu meluncur begitu saja.
Alysa menatapku. Matanya membulat. Mukanya memerah.
Tersenyum. Kemudian tersipu mengangguk.
Sungguh, malam itu berubah seperti ada seribu kembang api yang meluncur
menghias angkasa. Hatiku menyala oleh rasa bahagia. Keramaian rumah makan tepi
jurang lautan terasa bingar, orang-orang yang menghabiskan makanan di atas
meja.
Malam itu.
Setahun silam.
Dan semua mulai dikerjakan. Keluarga saling bertemu, tanggal
pernikahan ditentukan, kartu undangan disebar, hal-hal kecil diselesaikan,
semua berjalan begitu lancar.
Tetapi pernahkah kalian menyimak film-film. Yang ketika
pasangan itu siap menikah beberapa hari lagi, salah-satu pemerannya entah
kenapa bertemu dengan seseorang—biasanya seseorang itu calon mempelai
perempuan. Seseorang yang terlihat begitu sempurna. Seseorang yang mengambil
segalanya. Ketika kalian menonton film itu, bahkan kalian tega membela perasaan
yang baru muncul di hati jagoan wanitanya. Tega berharap agar pernikahan itu
tidak jadi. Berharap calon mempelai perempuan berhasil mendapatkan seseorang
yang tiba-tiba muncul, amat memesona itu. Berharap cinta hebat yang tumbuh
mendadak yang menang, membenarkan alasan si calon mempelai perempuan. Akui
sajalah, kita selalu membela cinta model ini.
Itulah yang terjadi denganku. Persis lima hari sebelum kami
menikah, Alysa bertemu dengan pria gagah itu. Dalam sebuah pertemuan yang
mengesankan. Aku tidak peduli di mana, kapan, dan entahlah pertemuan itu
terjadi. Tidak peduli. Sama tidak pedulinya siapa sesungguhnya pemuda itu. Yang
pasti dia meremukkan seluruh kenangan indahku bersama Alysa. Menghancurkan
kedekatan kami , keluarga kami, dan sebagainya dengan lima hari pertemuan.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?
Ya Tuhan, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?
Sungguh lelucon cinta yang tidak lucu.
”Maafkan aku.” Alysa berkata pelan, ”Aku, aku tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi.”
Astaga? Setelah bilang dia tidak bisa melanjutkan rencana
pernikahan kami, Alysa juga tidak tahu apa yang sedang terjadi? Ini bencana
besar, jika tidak baginya, tapi setidaknya bagi dua keluarga yang sudah
menyiapkan banyak hal.
”Aku, aku mencintainya.” Alysa menghela nafas, ”Kau tahu,
akan terasa, akan terasa menyakitkan kalau kita tetap menikah dengan kenyataan
aku mencintainya.”
Ya Tuhan? Dia mencintainya hanya dengan pertemuan lima hari?
”Maafkan aku....” Suara Alysa bergetar, ”Kau tahu, itu
seperti cinta pertama pada pandangan pertama. Aku, aku pikir semua rencana
pernikahan kita keliru.”
Debur ombak menghantam cadas terdengar bagai lagu penuh
kesedihan. Bukan, bukan karena semua ini tidak aku mengerti yang membuatku
sakit hati. Bukan karena tibatiba, bukan kenapa harus terjadi lima hari
sebelum pernikahan kami. Aku juga tidak mampu membenci pria itu. Apa salahnya?
Aku tahu, selalu ada bagian yang tidak masuk akal dalam perjalanan cinta.
Tetapi lebih karena, lihatlah, percakapan ini, aku tahu persis, separuh hatiku
akan pergi. Persis seperti sebuah daun berbentuk hati, diiris paksa oleh belati
tajam, dipotong dua. Aku sama sekali tidak bisa mencegahnya.
Alysa membatalkan pernikahan, begitu saja. Pakaian pengantin
dikembalikan, gedung yang disewa
dibatalkan, katering yang disiapkan diurungkan. Menyisakan
pertanyaan pertanyaan teman, malu di wajah keluarga, menyisakan itu semua. Itu
sungguh masa masa yang sulit.
“Kita tidak berjodoh. Maafkan aku.” Dan Alysa pergi malam
itu. Di tempat yang sama ketika aku memperlihatkan cincin batu bulan itu kepadanya.
***
Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha
memutus suasana canggung lima menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”
Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.
Hening sejenak. Lebih banyak kesunyian menggantung di
langit-langit rumah makan.
Malam pertemuan kesekian kalinya aku dengan Alysa, malam
ini, malam sekarang.
“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.”
Alysa ragu-ragu bertanya lagi, dengan suara yang semakin pelan dan semakin
cemas.
Aku terdiam. Mengusap wajah kebas.
Ombak semakin kencang menghantam cadas. Berdebur.
Aku sungguh tidak menduga, setelah setahun berhasil pergi dari segala kesedihan itu.
Susah-payah menyingkirkan kenangan lama yang selalu
menelusuk di malam-malam senyap. Alysa mendadak kembali. Meneleponku dengan
suara tersendat. Meminta kami bertemu
malam ini.
Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa aku harus menemuinya.
Semua itu sudah selesai. Bangunan hubungan kami sudah hancur berkeping-keping,
bahkan jejak pondasinya pun tidak ada
lagi. Hanyut tercerabut setahun silam. Tetapi aku toh tetap menemuinya. Di
tempat pertama kali aku mengenalnya. Di tempat dia membatalkan begitu saja
rencana pernikahan kami. Di tempat kenangan kami.
Alysa datang mengenakan gaun putih. Syal hijau. Matanya
sembab, wajahnya sendu.
Dan terisak perlahan setelah setengah jam berlalu. Alysa
menceritakan banyak hal.
Meski lebih banyak menahan tangis. Aku hanya diam.
Dulu,
setiap melihatnya menangis, aku pasti seolah ikut menangis. Bergegas berusaha
menghiburnya, melucu, memberikan kata-kata motivasi, apa saja.
Malam ini, aku hanya menatap kosong ke arah lautan.
Menyerahkan sapu-tangan.
Lantas diam.
Apa yang harus kulakukan? Apa yang Alysa harapkan?
Ketika hati itu terkoyak separuhnya setahun lalu, aku sudah
bersumpah untuk menguburnya dalam-dalam. Berjanji berdamai meski tak akan
pernah kuasa melupakan. Malam ini saat Alysa bilang hubungan hebatnya dengan
pria memesona itu gagal, aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa
aku harus senang? Sedih? Marah? Tidak peduli?
Ya Tuhan, ini semua sungguh menyakitkan.
“Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa bertanya lagi, kali ini seperti bertanya kosong.
Ya Tuhan, ini semua sungguh menyakitkan.
“Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa bertanya lagi, kali ini seperti bertanya kosong.
Aku hanya diam.
Lihatlah, Alysa dicampakkan begitu saja. Itu menurut pengakuannya.
Lihatlah, Alysa dicampakkan begitu saja. Itu menurut pengakuannya.
Apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama tidak
tahunya kenapa dia dulu tiba tiba merasa begitu jatuh cinta dan tega
membatalkan pernikahan kami. Itu bukan urusanku.
“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.”
Suara Alysa kalah oleh desau angin. Tertunduk.
Aku menggigit bibir, menggeleng, “Kau tahu, saat itu aku
akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati
yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi.
Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru.”
Alysa memberanikan diri mengangkat wajahnya, cemas mendengar
intonasi suaraku.
“Maafkan aku Alysa, aku sudah menikah. Bukan dengan seseorang yang amat aku cintai, aku inginkan. Tetapi setidaknya ia bisa memberikanku sepotong hati yang baru.
Maafkan aku. Kau lihat. Ini cincin pernikahan kami, batu
giok.” Aku menelan ludah.
Hening sejenak. Alysa mematung. Aku mengangkat bahu. Alysa menyeka ujung-ujung matanya. Mengangguk pelan. Ia tahu
persis itu simbol batu tanggal kelahiranku. Malam ini semua sungguh terasa
menyesakkan. Gadis itu beringsut berdiri dari tempat duduknya, beranjak pergi.
Aku menatap punggungnya hilang dari balik pintu rumah makan.
Maafkan aku Alysa, aku berbisik pelan menatap selimut gelap
lautan. Melepas cincin itu.
Ini bukan cincin milikku. Ini kepunyaan adikku--yang juga
menyukai batu giok. Ada gunanya juga memutuskan mengenakan cincin ini sebelum
bertemu dengan Alysa. Aku belum menikah. Aku selalu mengharapkan kau kembali.
Selalu. Hingga detik ini. Bahkan minggu-minggu pertama kau pergi aku tega
berharap dan berdoa Tuhan menakdirkan pria itu bernasib malang.
Tetapi malam ini, ketika melihat wajah sendumu, mata
sembabmu, semua cerita tidak masuk akal itu, aku baru menyadari, cinta bukan sekadar soal
memaafkan. Cinta bukan sekadar soal menerima apa adanya. Cinta adalah harga
diri. Cinta adalah rasionalitas sempurna.
Jika kau memahami cinta adalah perasaan irrasional, sesuatu
yang tidak masuk akal, tidak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu
akan kembali menganga. Kau dengan mudah membenarkan apapun yang terjadi di
hati, tanpa tahu, tanpa memberikan kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi
karena kau tidak mampu mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih, tidak
kurang.
Kenangan indah bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku
entah hingga kapan. Itu benar. Membuatku
sesak. Tapi aku tidak akan membiarkan hidupku kembali dipenuhi harapan hidup bersamamu. Sudah cukup.
Biarlah sakit hati ini menemani hari-hariku.
Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil sempurna
menumbuhkan hati yang baru, memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri sendiri.
Apa pepatah bilang? Ah iya, patah hati tapi tetap sombong, patah-hati tapi
tetap keren.
***
Komentar
Posting Komentar