Luka Selalu Meninggalkan Jejak Sesamar Apapun
Apa yang membuat
seseorang berubah? Adalah satu dari dua hal ini: belajar banyak atau
trauma yang dalam. Belajar, tak diragukan lagi, membuat seseorang menimba
banyak pengetahuan yang darinya membuat dia menjadi lebih pintar (berubah). Akan halnya trauma,
saya kira, adalah jalan tersingkat untuk berubah. Terluka dalam, dapat
membuat seseorang menjadi bukan dirinya lagi hanya dalam hitungan bulan, bahkan
mungkin hari. Luka, seperti halnya menangis yang tidak selalu dengan air
mata, kadang kala tak disertai darah. Luka seperti ini sangat traumatis dan
memberi efek psikologis yang dahsyat. Sebab iya terpendam jauh di
dalam hati, seperti air yang terperangkap di telinga, sangat menggangu tapi tak
kelihatan oleh orang lain.
Kali
ini saya akan menuliskan tentang luka yang dalam yang membuat seseorang berubah
180 derajat. Ini ceritanya. Ketika saya di Sukoharjo beberapa hari yang lalu karena ada urusan kerjaan, entah kenapa, tiba-tiba teringat seorang kawan lama
yang kebetulan ia tinggal / berdomisi di daerah
tersebut.
Saya pun mencari nomer hp-nya dari kawan lain. Singkat cerita kami janjian
untuk bertemu di suatu tempat.
Kawan
saya ini, wanita, sewaktu kuliah S1 dulu
dia bukanlah tipe anak
bandel, tapi juga bukan anak rumahan banget. Tak suka nongkrong, tapi juga tak
mau ketinggalan kalau ada undangan khusus. Dia bergaul dengan siapa saja.
Saya sudah kehilangan memori apakah dulu dia punya pacar waktu di kuliah.
Tapi, gambaran saya tentang dia sampai beberapa saat sebelum bertemu adalah dia
wanita yang santun dan bukan tipe hura-hura.
Telepon
saya berdering pas ketika saya sampai di tempat kami sepakat untuk bertemu. Dia
menelopon
pun persis ketika dia masuk pintu lobby sehingga saya
memiliki keuntungan untuk mengetahui lebih dulu seperti apa penampilan dia
sekarang. Saya terkejut, karena penampilannya jauh dari gambaran saya tadi.
Kami
menghabiskan malam itu dengan ngobrol ngalor ngidul, dari yang lucu hingga yang
sedih. Sambil terus ngobrol saya merasa ada yang berubah dengan kawan saya ini.
Dia yang dulu santun, sekarang berbicara keras dan tertawa terbahak-bahak. Tapi
saya bisa merasakan ada kesedihan dibalik tawanya yang tanpa tedeng aling-aling
itu. Setengah bercanda, saya mengatakan ini: kamu tidak seperti ini dulu.
Nyaris
saja saya terjengkang dari kursi, saat dia bereaksi atas penyataan saya tadi.
Dia menangis tapi dengan air mata yang tertahan di kelopak mata
bawah. Pernah menangis seperti ini? Ini adalah adalah cara tubuh berekasi
terhadap sakit yang mengiris–iris yang sudah tak bisa disalurkan lewat
air mata. Air mata tak mampu lagi mewakili lukamu. Pada saat seperti
ini Anda pasti ingin meminta agar tak diberi air mata, sebab tak ada lagi
gunanya.
Kawan
saya ini bercerita bagaimana ia terluka sedemikian rupa sehingga membuatnya
berubah total hanya dalam tempo beberapa bulan. Ia terluka karena cinta (saya
kira ini adalah paradoks cinta: satu sisi cinta membahagiakan, sisi lainnya
melukai). Saya menghabiskan sisa malam itu bersama dia sebagai pendengar
setia. Tak sekalipun saya memotong pembicaraanya, apalagi memberi saran. Dia
tak butuh itu. Dia butuh pendengar.
***
Saya
jadi teringat cerita tentang paku di pohon dan luka yang ditinggalkannya.
Begini ceritanya: seorang anak yang amat bandel diminta oleh orang tuanya untuk
menancapkan satu paku di pohon setiap kali dia menyakiti orang lain.
Selama sebulan, anak ini telah memaku pohon di depan rumah sebanyak 25 kali.
Artinya nyaris tiap hari selama sebulan dia melukai perasaan orang lain. Orang
tuanya lalu meminta dia mencabut satu paku, jika ia berhasil menahan emosinya.
Apa yang terjadi? Anak ini menyadari bahwa menahan emosi bisa dilakukan asal
kita memiliki tekad. Tak lama kemudian, semua paku di pohon itu habis dia
cabuti.
Nah..setelah
itu, orang tuanya memperlihatkan kepada anak bandel yang mulai tobat ini bahwa
sekalipun paku di pohon sudah dia cabut, bekas pakunya tetap ada. ‘’Tidak
perduli seberapa banyak dan seberapa sering kamu meminta maaf kepada orang yang
kamu sakiti, luka yang kamu tinggalkan akan tetap membekas,” kata orang
tuanya.
Luka
ternyata tak pernah benar-benar kering. Ia selalu meninggalkan jejak, sesamar
apa pun.
Komentar
Posting Komentar