Nama Adalah Doa Bagian 1



Suatu pagi di awal ajaran semester baru saya melihat-lihat leaflet & list penerimaan maba. Iseng-iseng, saya memperhatikan nama-nama maba yang diterima di MM fak ekonomi uns.  Anda tahu apa yang saya temukan dari daftar 125 mahasiswa baru itu?  Sebagian besar nama maba itu tidak memakai nama khas Indonesia.  Angkanya: dari 125 orang mahasiswa, hanya 21 (16,8%) yang memiliki naman khas Indonesia.

Meski sebenarnya saya sudah lama mengetahui gejala ini, tapi apa yang saya lihat di papan leaflet pengumuman di ptn pada pagi itu tetap saja mengejutkan. Bukan betul karena prosentasi nama non-Indonesia yang amat besar, melainkan lebih karena nama-nama itu sendiri sungguh luar biasa asing di telinga dan lidah saya (atau mungkin saya yang sudah terlalu old fashion).

Sebelum anda mendebat saya, baiklah saya memperjelas apa yang saya maksud dengan nama-nama khas Indonesia. Kira-kira definisinya ini:  nama-nama khas Indonesia adalah nama yang menjadi ciri khas satu suku atau daerah serta nama yang diadopsi atau diadaptasi dari Timur Tengah (Islam). Semisal: Ngatimin atau Sukiyem atau Slamet atau Bambang atau Sugeng (Jawa), Prawiradirja atau Winata (Sunda),  Baco atau Becce (Bugis – Makassar),  Rahman atau Awaluddin (adaptasi dari Timur Tengah),  dan banyak lagi yang memiliki ciri asli Indonesia.

Sejak kapankah kecenderungan ini mulai muncul? Maksud saya kapan tepatnya orang – orang  tua di sini  mulai meninggalkan nama tradisional Indonesia dan memilih nama-nama asing (saya tidak yakin apakah penamaan ini tepat) untuk anak mereka?  Tidaklah mudah menjawab pertanyaan ini, tapi kita bisa mendapat gambaran kasar dengan melihat nama-nama anak kelas 6 di sekolah dasar di sekitaran kita saja. Anak – anak kelas 6 ini dilahirkan sekitar 12 tahun lalu, yang dengan demikian, kita bisa menduga apa yang terjadi dengan ibu-ibu mereka 12 tahun silam saat akan memberikan nama anak mereka.  Saya ambil satu kelas sebagai sampel dari lima kelas. Hasilnya: sekitar 22% anak di kelas itu yang memakai nama khas Indonesia.  Jadi, bisa saya simpulkan bahwa 12 tahun lalu, orang-orang tua sudah mulai suka memberikan nama-nama asing untuk anaknya.

Apa yang kini telah berubah? Kenapa moyang kita memberikan nama khas Indonesia untuk anak-anaknya, sementara kita-kita (sesungguhnya saya tidak termasuk dalam kategori “kita” ini) sekarang  lebih senang dengan nama asing? Adakah pertimbangan komersial yang ikut berperan? Ataukah hanya sekadar gaya-gayaan tanpa makna sama sekali?

Jika Anda seorang ibu atau bapak yang sudah punya anak, coba ingat-ingat apa yang menjadi alasan pertama dan terutama saat memberikan nama anak Anda?  Sementara Anda mengingat-ingat, saya mencoba mencari jawabannya dengan bertanya kepada teman saya tentang hal ini. Ini dia jawabannya yang dalam beberapa hal sudah bisa saya duga:  “Nama anak saya sama dengan nama seorang super star yang menjadi idola saya.” 

Kawan saya yang lain menjawab ini: “Nama-nama tradisional tidak bergengsi dan tidak komersial.”   Saya tidak memerlukan penelitian mendalam untuk mengakui bahwa apa yang dikatakan kawan yang saya sebut terakhir itu menjadi alasan utama kenapa nama-nama tradisional sekarang tidak laku lagi.

Mungkin orang tua jaman sekarang tidak lagi setuju dengan ungkapan William Shakespeare; apa arti sebuah nama.  Sesunggguhnya, jika kita renungkan baik-baik, Shakespeare pun sebenarnya tidak setuju dengan ungkapannya itu. Andaikan dia setuju dengan ungkapannya itu,  apakah dia mau mengganti nama Romeo dan Juliet dengan Ngatimin dan Ngatiyem?  (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Miui CAF GX 12.5.3.0 Redmi Note 5 / Pro

Collection of kernel miui Nougat for kenzo

Miui-CAF Ultra 12.0.5.0 Redmi Note 5/ Pro