22082016
Selamat malam.
Malam ini saya menulis dengan perasaan yang entah harus saya
sebut apa. Sebenarnya saya ingin langsung bertamu ke hati perempuan itu. Ingin
bisa duduk di sampingnya dan memulai percakapan kecil tentang apa saja.
Terutama tentang kabarnya yang belakangan ini memilih tuli. Akan tetapi saya
cemas jika saya bertamu ke hati perempuan itu, hal ini akan menahannya beberapa
saat sementara saya paham sekali perempuan itu terlalu sibuk meski hanya untuk
mendengar cerita saya apalagi untuk membaca tulisan saya.
Frekuensi pertemuan kami yang makin jarang, hingga kemudian
perempuan itu sama sekali tak lagi punya waktu untuk saya, jujur membuat saya
sungguh kehilangan. Entah karena apa perempuan itu lantas memilih sunyi dan
merawat setoples diam di bibirnya hingga kini. Ah, barangkali perempuan itu
ingin benar benar melupakan rasa sakit hati yang dulu pernah mampir dan
melubangi dadanya. Sekaligus ingin menghapus keberadaan saya, si penyebab itu
semua.
Pernah di suatu malam, saya mengajukan tanya; “apakah kau
sudah mulai melupakanku sekarang?”. Saya ingat betul potongan kalimatnya saat
itu; ia sama sekali tak melupakan saya, katanya. Saat itu saya hanya pura pura
percaya dengan perkataannya. Tapi coba tebak, apa kalian percaya jika saya
kekal di dalam ingatannya?. Jika ini diumpamakan sebuah buku, saya seperti
menandai halaman yang hendak saya ulang ulang membacanya dengan melipat ujung
kertasnya, sementara pada kenyataannya perempuan itu sama sekali tak ingin lagi
mendengar saya membaca alinea sama yang saya tandai itu.
Dusta jika saya katakan bila saya tlah bisa melupakannya.
Setiap pagi ketika saya menyeduh secangkir kopi, kerap kali saya bertanya tanya
dalam hati apakah perempuan itu telah sempat menyesap kopi di pagi yang sama
ketika saya mengingatnya?. Pukul tujuh malam, ketika saya menatap langit yang
mulai gelap, saat itu juga saya bertanya tanya apakah perempuan itu telah tiba
di rumah untuk melepas lelah?. Demikian juga ketika malam makin larut, dalam
baring saya menerka nerka, apakah perempuan itu punya rasa yang sama seperti
saya; Ah sungguh lucu. Kini, tinggal saya sendiri yang tetap mencoba mengeja
tanggal tanggal pertemuan dan percakapan percakapan manis sejak bincang pelan
pelan pudar. Yah, Biarlah. Tak apa. Meski di sini namanya tak pernah sekali pun
luput ucap. Meski pun hingga kini, nama perempuan itu dan doa doa sangat akrab
dengan bibir saya.
Komentar
Posting Komentar