Selfie = Mubah, Iya Kah?

Introvert adalah pribadi yang hidup dalam pikiran. Setiap hari berkontemplasi. Setiap hari berasumsi. Ada yang perlu kita waspadai. Bahwa seorang introvert itu sangat rawan terjebak dalam asumsi dan kacamata berpikirnya sendiri.

Ini saya rasain banget ketika ada begitu banyak orang menulis tentang ‘keharaman’ selfie bagi wanita. Saya sebenernya bukan orang yang ngedukung wanita untuk berbondong-bondong untuk selfie. Setiap orang harus punya rasa malu. Wanita harus menjaga dirinya dengan tidak membuka aurat, dan laki-laki harus menjaga dirinya dengan menundukkan pandang plus tidak banyak mengumbar kata mesra yang mengandung fitnah. Tapi dibalik semua kewajiban itu, hukum selfie tetap mubah. Nggak bergeser menjadi haram.

Pentingnya apa memahami bahwa selfie itu mubah?

Agar kita lebih punya hati dalam memperingatkan para muslimah yang banyak memasang foto di sosial media. Biar kita nggak dengan kasar menggunakan logika bahwa selfie = tabarruj, tabarruj = dosa, dan yang dosa itu haram dilakukan jadi selfie itu haram. Tidak semua selfie termasuk tabarruj. Jika ia dilakukan sesuai adab serta dengan frekuensi yang sesuai ukuran, semua orang diizinkan untuk melakukannya. Wajah itu pada dasarnya cuma identitas. Jika di instagram kita ada satu dua foto, itu nggak masalah.

Jangan semua dibawa ke arah tabarruj. Tabarruj itu bermakna dengan sengaja untuk membuka sesuatu yang seharusnya di sembunyikan. Sementara nggak semua orang memasang foto dengan niat ‘sekedar untuk menampakkan diri’. Saya mungkin keseringan memakai sudut pandang introvert yang melakukan hampir semua hal dengan menata niat terlebih dahulu. Berbeda dengan orang ekstrovert yang kadang melakukan sesuatu ya sekedar ngelakuin aja. Tanpa ada niat apapun. Buat lucu-lucuan doang mungkin lah yee..

Jangan dipahami kalau saya mendikotomi manusia cuma jadi dua jenis. Introvert sama ekstrovert doang. Manusia itu banyak. Sudut pandangnya juga amat sangat banyak sekali. Dimana masing-masing sudut pandang jauh banget bedanya. Jadi nggak semua orang itu melakukan sesuatu dengan dasar atau niat seperti yang kita pikirkan.

Intinya, nggak semua wanita itu memasang foto demi mencari perhatian. Kalau toh frekuensinya terlalu banyak, kita bisa ngingetin dengan bahasa yang santun. Bukan hanya dengan nada yang lembut tapi ujung-ujungnya dijudge tabarruj.

Wanita menutup auratnya itu lillah. Bukan sekedar untuk menjaga diri dari mata yang jelalatan. Laki-laki menjaga pandang pun mestinya juga lillah.

Menutup aurat dan menjaga pandang adalah urusan dan tanggung jawab masing-masing. Nggak ada ceritanya laki-laki jadi punya hak buat nyalahin wanita karena kegagalannya menjaga pandang. Dan nggak ada ceritanya wanita jadi bebas dari kewajiban menutup aurat ketika semua laki-laki lulus dari ujian menjaga pandang.

Setiap orang punya bahasa masing-masing dalam mengingatkan. Hanya saja, nggak semua hal bisa dikaitkan dengan tabarruj seolah menjadi wanita itu kerasa susah. Gerak dikit aja salah. Gerak dikit aja disangka cari perhatian. Endingnya pemahaman tentang tabarruj menjadi berlebihan. Padahal semua yang dipahami secara berlebihan itu tidak baik.

Wanita memang harus belajar tentang rasa malu dan tentang definisi tabarruj. Tapi biarkan mereka belajar secara utuh lewat kata-kata yang baik. Bukan lewat nasihat judgemental di muka umum yang menuduh mereka berbuat yang tidak-tidak. Padahal selfie itu mubah.

Selfie berpotensi ke arah tabarruj seperti potensi pisau yang bisa dijadikan alat untuk membunuh. Tapi nggak semua selfie itu tabarruj, sama halnya kayak pisau yang nggak semuanya dipakai untuk membunuh.

Silahkan menampakkan diri kita secukupnya saja. Sebatas orang tahu bahwa akun kita tidak anonim. Sebab di era ketika banyak orang tidak bertanggung jawab berpendapat secara anonim, memperlihatkan identitas ketika beropini adalah bentuk tanggung jawab.

Jikapun kamu memilih untuk tidak menampakkan diri sama-sekali, itu hak masing-masing. Setiap orang bisa menggunakan kacamata yang berbeda. Menjaga diri dari fitnah itu amat baik. Tapi memaksa semua orang menggunakan kacamata yang sama sehingga yang pasang satu dua foto dituduh nggak mau menjaga diri, kita perlu memeriksa hati kita masing-masing.

Kalaupun kita mengurangi frekuensi untuk melakukan yang mubah, semoga semuanya dilakukan atas dasar yang benar.
Seperti kita yang berkomitmen mengurangi makanan berlemak yang meskipun itu nggak haram, tapi lebih baik dihindari karena nggak baik untuk kesehatan jantung. Mengurangi frekuensi selfie harus dimaknai demikian. agar kita bisa lebih santun lagi dalam menasihati dan tidak serampangan menebak niat orang.

Wallahu a’lamu wal musta’an,

Selamat bermalam minggu bagi yang tidak jomblo... ๐Ÿ˜‚

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Miui CAF GX 12.5.3.0 Redmi Note 5 / Pro

Collection of kernel miui Nougat for kenzo

Miui-CAF Ultra 12.0.5.0 Redmi Note 5/ Pro